Tak Libatkan Kelompok Rentan, Raperda Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Kota Semarang Dinilai Cacat

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Namun, tidak melibatkan perempuan rentan serta organisasi yang telah lama bekerja bersama perempuan miskin, rentan dan marjinal.

Dari substansinya, Raperda tersebut banyak mengamputasi praktek baik pemberdayaan & perlindungan perempuan di Kota Semarang.

Perwakilan Aliansi Peduli Perempuan Kota Semarang, Niha mengatakan sebagaimana keputusan dari DPRD Kota Semarang Nomor 172.1/16 tahun 2022 bahwa rancangan aturan ini merupakan inisiatif dari DPRD. Namun Raperda ini dinilai cacat dalam prosedur pembentukan dan substansinya.

“Dari sisi prosedur pembentukan Raperda ini tidak partisipatif, karena proses penyusunan dan pembahasan Raperda tersebut tidak melibatkan kelompok masyarakat yang terdampak langsung yaitu perempuan, terutama kelompok perempuan yang rentan diantaranya perempuan korban kekerasan, disabilitas, HIV Aids, perempuan yang hidup dalam kawasan rob dan banjir, perempuan pekerja, dan perempuan yang hidup dalam konflik ekstremisme,” ungkapnya melalui zoom meeting, Selasa, 19 September 2023.

Ia menambahkan, proses pembentukan Raperda juga tidak melibatkan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang sudah lama bekerja untuk kemajuan HAM perempuan.

“Hanya sekali dilibatkan dalam rapat panitia khusus (pansus), 13 September dalam agenda perumusan hasil fasilitasi akhir dari biro hukum Provinsi Jawa Tengah dan Kemenkumham Jateng. Undangan resmi dan draf dikirimkan sangat mepet sehingga sangat terbatas untuk memberi masukan,”jelasnya.

Ia mengimbuhkan, perwakilan dari organisasi perempuan ketika memberikan masukan saat rapat pansus justru dipotong dan di hentikan oleh pimpinan rapat. Alasannya karena pembahasan sudah di pertengahan topik.

raperda semarang
Konferensi Pers Lewat Zoom Metting Oleh Aliansi Peduli Perempuan Kota Semarang. (Rizky Syahrul Al-Fath/Lingkarjateng.id)

Atas insiden tersebut, Niha menilai DPRD Kota Semarang tidak serius melibatkan organisasi perempuan, hal ini menurutnya tidak sesuai dengan pasal 96 UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mana masyarakat boleh untuk memberikan masukan dalam pembentukan Peraturan Daerah.

“Draf ini tujuannya adalah memberikan layanan pemulihan perempuan pada korban, tapi kemudian dalam substansi draf tidak menyebutkan mekanisme bagaimana pemberian pelayanan yang bisa diakses, dan dipakai untuk memulihkan perempuan korban kekerasan. Draf tersebut hanya terdapat teori-teori hukum saja yang diatur dari pasal per pasal,” bebernya.

Pihaknya mengimbuhkan, terkait Raperda Kota Semarang justru tidak mengatur soal pemulihan. Selain itu, hak-hak perempuan korban kekerasan juga tidak tercantum dalam Raperda. (Lingkar Network | Rizky Syahrul – Lingkarjateng.id)

Similar Posts