Sempat Diguyur Hujan, Tradisi Dugderan Kota Semarang Tetap Meriah

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Prosesi Kirab Dudgeran Kota Semarang tetap berlangsung semarak dan meriah meski sempat diguyur hujan deras. 

Prosesi Dugderan diawali dengan Upacara di halaman Balai Kota Semarang dengan  Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu bertindak sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purboningrum, Adipati Kota Semarang. 

Antusias masyarakat pun cukup tinggi, merek berbondong-bondong menyambut rombongan kirab dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Kauman dan Alun-alun Semarang, Sabtu, 9 Maret 2024. 

“Ini menjadi salah satu rangkaian nguri-uri budaya dengan kegiatan-kegiatan menjelang Ramadhan,” ujar Walikota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu.

Sebelum mumulai kirab, Mbak Ita yang berperan sebagai Adipati Kota Semarang Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purboningrum memecahkan kendi. Ia kemudian menaiki kereta kuda diiringi pasukan berkuda yang dikomandoi Keoala Disbudpar Kota Semarang, Wing Wiyarso di barisan terdepan. 

Menurut Mbak Ita, prosesi Dugderan kali ini semakin lengkap dengan adanya keikutsertaan warga Tionghoa.

“Ada arak-arakan pasukan berkuda atau pasukan prajurit 40-an. Ditambah ada pembagian kue keranjang dari Paguyuban Tionghoa, selain kue ganjel rel yang ada di Masjid Agung Semarang dan dibagikan di Aloon-Aloon, karena jaraknya berdekatan dengan Imlek,” jelasnya

Mbak Ita menyebut, kolaborasi dan akulturasi budaya dengan masyarakat Tionghoa, Arab, Jawa dan Melayu dalam tradisi dugderan diklaim baru dilakukan di Kota Semarang.

“Tentunya kami berharap bisa lancar semua proses dari Balai Kota kemudian Masjid Agung Semarang kemudian Masjid Agung Jawa Tengah. Pembagian kue ganjel rel dan kue keranjang ini juga menjadi wujud akulturasi budaya antara masyarakat Jawa, keturunan Arab, keturunan Tionghoa, dan keturunan Melayu. Tentunya akan menjadi satu rangkaian yang sangat dinantikan masyarakat,” paparnya.  

Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso, mengatakan kirab Dugderan digelar rutin setiap tahun. Ia menjelaskan, dulu prosesi Dugderan diinisiasi oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat pada tahun 1881. 

“Beliau mewujudkan satu kolaborasi akulturasi budaya. Ketika masyarakat muslim menjelang Ramadhan, antara umara dengan ulama bersama-sama mengumumkan kepada masyarakat untuk menyambut bulan suci Ramadhan,” ungkapnya.

Ia menyampaikan, prosesi ini diawali dengan adanya Pasar Dugderan di sekitar Alun-alun Semarang yang dimeriahkan berbagai permainan.

Kemudian Warak Ngendog sebagai simbol Dugderan merupakan binatang imajiner yang menunjukkan akulturasi budaya Kota Semarang sejak zaman dahulu kala. Acara kebudayaan ini juga bentuk toleransi tinggi antarumat beragama, antar etnis yang ada di Kota Semarang. Apalagi kala itu, Semarang menjadi lokasi strategis dalam melakukan syiar agama Islam. 

Menurut Wing, ini kedua kalinya prosesi Dugderan yang dilakukan setelah revitalisasi Alun-alun Kauman. 

“Acara pertama ada penyerahan suhuf halaqah. Dari Balai Kota, rombongan Ibu Wali Kota yang memerankan tokoh Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Probodiningrum, nama lain kami izin kepada Keraton Surakarta karena Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat adalah putra. Ini dilakukan karena pimpinan kami putri, maka kami minta arahan kemudian diberikan nama tersebut,” terangnya.

Mbak Ita yang memimpin prosesi kirab sampai Masjid Agung Semarang Kauman, di sana rombongan kirab diterima oleh Tafsir Anom bersama alim ulama yang hadir.

Kemudian di Masjid Kauman, kata Wing, akan diumumkan kepada masyarakat tentang penentuan awal bulan suci Ramadhan 1445 Hijriah. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-fath – Lingkarjateng.id)

Similar Posts